Alamat Redaksi:
Ciwidey Pertengahan Kav. Kebun 9 No. 79,
Kelurahan Hajarsari, Kecamatan Bandung Utara
Kota Bandung
Jawa Barat
Ciwidey Pertengahan Kav. Kebun 9 No. 79,
Kelurahan Hajarsari, Kecamatan Bandung Utara
Kota Bandung
Jawa Barat
Bagi masyarakat umum teater sudah dikenal dalam bentuk Ludruk, Ketoprak (Jawa), Lenong, Topeng (Betawi), Calung (Sunda), dan lebih banyak lagi di Sumatra, Aceh, NTT, Sulawesi dengan muatan lokal yang berbicara hal keseharian mereka.
Wacana seni teater di era 80’an mulai menempati ruang-ruang publik, misalnya kampus dan sekolah lanjutan tingkat atas, dengan berbagai upaya eksplorasi dan pencarian bentuk, format tampilan dan pilihan kiblat. Kelompok yang berkembang banyak melakukan hubungan secara langsung untuk saling mendukung, diskusi dan bentuk-bentuk kerjasama seperti pentas kunjungan/tamu. Untuk kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Jogja teater tumbuh subur dengan iklim yang kondusif kerena ketersediaan ruang dan fasilitasnya. Daerah lain tidak kalah bersemangat dengan segala keterbatasan fasilitas (atau referen?) yang justru membuat kreatif dan mulai menggali kembali lokalitas seni pertunjukan di daerah. Tahun 90’an banyak kelompok yang menemukan bentuk dan dikenal di luar komunitasnya ketika mengusung tema, idiom, dan materi lokal. Standar pementasan teater mulai berubah dan memacu kalangan muda terangsang untuk bereksplorasi di ranah lokal.
Pemerintah Orde Baru dengan jargon pelestarian budaya malah dengan intensif dan serius memasuki wilayah teater untuk menyebarkan, mempengaruhi, dan menyampaikan “kebijakan-kebijakan” dan program pada waktu itu.
Teater semakin dikenal sebagai media representasi yang fleksibel dan semakin banyak pihak dari berbagai kalangan menggunakannya untuk berbagai “keperluan”. Bagi seniman “murni” ini mungkin dianggap bentuk pengkhianatan terhadap seni, tapi tidak demikian bagi praktisi lainnya.
Di Philipina, media teater penyadaran dikenal punya andil besar dalam gerakan people power yang menjatuhkan Marcos! Kalangan NGO (Non Goverment Organization-LSM) menggunakan teater untuk analisa sosial yang partisipatif, mencari akar dan pemecahan persoalan keseharian pada program pemberdayaan kelompok masyarakat. Sekarang di berita TV keseharian marak dengan happening art (yang teater juga) bisa disaksikan bersamaan dengan demonstrasi mulai dari kalangan terpelajar, profesional, sampai kelompok rakyat.
Benarkah teater memang media yang efektif, efisien, dan fleksibel?
Kesejarahan mencatat seni pertunjukan (dan teater di dalamnya) Indonesia mengalami pasang surut seiring jamannya. Dari masa ke masa ada pertunjukan teater dengan atau tanpa penonton, dengan atau tanpa naskah, bahkan dengan atau tanpa panggung. Teater juga dikenal sebagai cabang seni yang relatif demokratis, egaliter, dan partisipatif.
Jika teater dianggap sebagai media atau alat maka akan muncul kebutuhan akan metode dan ukuran-ukuran capaiannya. Jika metode dan ukuran dapat dipelajari oleh siapa pun, itu berarti teater juga dapat menjadi milik siapa pun.