Alamat Redaksi:
Ciwidey Pertengahan Kav. Kebun 9 No. 79,
Kelurahan Hajarsari, Kecamatan Bandung Utara
Kota Bandung
Jawa Barat
Ciwidey Pertengahan Kav. Kebun 9 No. 79,
Kelurahan Hajarsari, Kecamatan Bandung Utara
Kota Bandung
Jawa Barat
Puasa merupakan ibadah yang mengandung beberapa ketentuan hukum di antaranya terkait dengan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Banyak hadits yang menerangkan tentang ibadah puasa ini, dari kemuliaan bulan suci Ramadhan, kewajiban puasa Ramadan bagi kaum Muslim, pahala puasa sampai hal-hal yang membatalkan puasa. Ada dua kategori hukum yang terkait batalnya puasa seseorang:
A. Yang hanya menyebabkan wajib Qadha
B. Yang mewajibkan Qadha dan Kifarat
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa lupa ketika berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah puasa itu diteruskan sampai selesai. Karena Allah sesungguhnya telah memberinya makan dan minum”. Dan menurut lafadz lain “Hal itu tak lain adalah rezeki yang Allah anugrahkan kepadanya, tanpa berkewajiban meng-Qadha puasanya”.
At-Tirmidzi berkata, “menurut kebanyakan para ulama, hadist ini patut diamalkan”. Dan demikian pula kata AsySyafi’i, Sufyan Ats-tsauri, Ahmad dan Ishak.
Dalam hadist lain Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah memaafkan dari ummatku kekeliruan, lupa dan hal-hal yang mereka terpaksa melakukannya”.
Jadi, orang makan makanan karena lupa atau tidak sengaja, maka ia tidak wajib mengqadha puasanya dan juga tidak wajib membayar kifarat. Puasa tetap sah dan dia dapat terus melaksanakan puasa tanpa kuatir merusak pahala puasa. Tetapi kalau dia sengaja memasukkan makanan atau minuman ke mulut, maka dia wajib mengqadha puasanya.
Haid dan nifas tetap membatalkan puasa dan mewajibkan qadha, sekalipun terjadi beberapa saat saja menjelang terbenamnya matahari. Dari Muadzah, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada bunda Aisyah: “Mengapa perempuan haid mengqadha puasanya, tetapi tidak mengqadha shalat? “ia menjawab: “kami mengalami hal yang demikian bersama Rasulullah. Lalu kami diperintahkan mengqadha puasa, tetapi kami tidak diperintahkan mengqadha shalat.” (HR. Bukhari).
Kalau kita dengan sengaja menelan misalnya adonan terigu, garam cukup banyak, potongan kulit, atau batu kecil, maka perbuatan tersebut membatalkan puasa dan wajib qadha.
Muntah dengan sengaja membatalkan puasa. Tetapi kalau tidak sengaja muntah, maka tidak membatalkan puasa, sehingga tidak mewajibkan mengqadha puasa dan kifarat.
Dari Abu Hurairah ra. la berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang terpaksa muntah maka tidak wajib qadha baginya, tetapi barang siapa sengaja muntah, maka ia wajib qadha” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai’, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Syeikh Sayyid Sabiq mengukir kata-kata Khithabi. Katanya: “Saya tidak melihat perbedaan pendapat antara ulama, bahwa orang yang terpaksa muntah itu tidak wajib mengqadha puasanya, dan bahwa orang yang muntah itu wajib mengqadha puasanya.
Ibadah puasa adalah ibadah pengendalian hawa nafsu, termasuk nafsu seksual. Jika seseorang yang berpuasa sampai sengaja mengeluarkan air mani, baik dikarenakan berciuman, berpelukan, onani atau bersentuhan atau lainnya, semua itu membatalkan puasa. Adapun keluarnya air mani itu hanya dikarenakan membayangkan atau memandang seseorang; maka tidak membatalkan puasa dan tidak berkewajiban apa apa.
Bagaimana jika mimpi basah di siang hari saat berpuasa, apakah membatalkan puasa? Di dalam nash al-Quran maupun hadits tidak ditemukan teks tentang mimpi basah saat berpuasa. Dalam ajaran agama Islam, ada pendekatan ijma’, yaitu kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam hukum agama.
Imam Nawawi di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab menjelaskan, “Apabila seseorang bermimpi basah, maka menurut ijma’ para ulama, tidak batal puasanya.” (referensi buku Fatwa Ramadhan, Prof Dr Syamsul Anwar MA)
Dan demikian pula hanya yang bila keluar itu madzi, bukan mani.
Orang yang sengaja membatalkan puasa Ramadhan, maka orang itu harus menjalankan puasa kifarat dua bulan terus menerus. Ini berkenan dengan orang yang hubungan suami istri selagi mereka menjalankan ibadah puasa, dan Rasulullah memerintahkan agar orang itu memerdekakan budak hamba sahaya sebagai kifaratnya. Orang itu kemudian menerangkan, bahwa ia terlalu miskin untuk melaksanakan perintah itu, lalu ia disuruh supaya menjalankan puasa kifarat selama dua bulan secara terus menerus, namun ia menjawab tidak mampu.
Lalu orang itu disuruh untuk memberi makan kepada 60 fakir miskin, namun ia menjawab lagi, tidak mampu. Akhirnya Rasulullah menunggu, sampai tiba-tiba datang orang membawa sedekah sekarung kurma, lalu Rasul memberikannya kepada orang yang membatalkan puasanya itu sambil bersabda agar kurma itu disedekahkan kepada orang miskin. Orang itu menerangkan bahwa di kota Madinah tidak ada yang lebih miskin selain dia. Atas jawaban itu Rasulullah tertawa tergelak, dan memperkenankan kepadanya agar membawa pulang sekarung kurma untuk dimakan oleh keluarganya.
Dalam riwayat diatas diuraikan bahwa, mengganti puasa dengan fidyah, yaitu penebus kesalahan. Yang dimaksud fidyah ialah suatu kewajiban memberi makan seorang miskin untuk orang-orang yang tidak dapat menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan.
“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS.2-184)
Ibnu Abbas berkata, bahwa hukum fidyah berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang sudah sangat tua, yang keduanya tidak kuat untuk berpuasa, maka sebagai gantinya keduanya wajib memberi makan, tiap-tiap hari satu orang miskin (Tafsir Ibnu Katsir). Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas berkata: “Telah diberi kelonggaran (rukhshah) orang yang sangat tua apabila ia berbuka, memberi makan fidyah, dan tidak ada kewajiban mengqadha atasnya.” (HR. Daruquthni dan Al-Hakim)
Berdasarkan hadist diatas, kelompok orang-orang yang tidak wajib berpuasa itu ialah orang yang sakit yang tidak mampu lagi berpuasa, termasuk orang tua yang sudah udzur dan lemah untuk berpuasa, wanita yang sedang mengandung dan wanita yang sedang menyusui anaknya dan ia juga termasuk kepada orang orang yang harus membayar fidyah bagi yang sanggup menjalankan ibadah puasanya adalah orang-orang yang bekerja keras untuk penghidupannya (misalnya menarik becak, kuli angkut pelabuhan dan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya yang menuntut kekuatan fisik). Orang yang jika berpuasa akan sakit, dan yang sakit tidak ada harapan untuk sembuh. Orang yang membayar fidyah ini tentu tidak wajib lagi melakukan qadha puasa.