Alamat Redaksi:
Ciwidey Pertengahan Kav. Kebun 9 No. 79,
Kelurahan Hajarsari, Kecamatan Bandung Utara
Kota Bandung
Jawa Barat
Ciwidey Pertengahan Kav. Kebun 9 No. 79,
Kelurahan Hajarsari, Kecamatan Bandung Utara
Kota Bandung
Jawa Barat
Sebagai umat Islam, kita memahami bahwa bulan suci Ramadhan adalah waktu yang penuh berkah dalam setahun. Ini adalah bulan disiplin ibadah, muhasabah, dan kesempatan untuk mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. 10 hari terakhir Ramadhan, khususnya, memiliki makna yang luar biasa bagi seorang Muslim saat dianjurkan untuk melaksanakan ibadah yang disebut itikaf. Dan di 10 hari terakhir bulan Ramadan itu pula terdapat satu malam yang disebut malam lailatul qadar, atau malam seribu bulan.
Dien Islam tidak mensyariatkan ruhbaniyah (kependetaan) dan tidak juga membolehkan mengasingkan diri terus menerus untuk beribadah semata. Akan tetapi hanya mensyariatkan itikaf dalam beberapa hari tertentu agar hati yang kering kerontang dapat disirami dengan ta’abbud (beribadah) dan tajarrud illahi (menghususkan diri dengan Allah).
Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya menyatakan bahwa secara lughah (etimologi) i’tikaf berarti: “berada di suatu tempat dan mengikatkan diri kepadanya baik ia berupa kebaikan ataupun kejahatan”. Pengertian seperti ini bisa kita dapati misalnya dalam surah An-Anbiya’: 52:
“Patung-patung apakah yang senantiasa kamu sekalian mengikatkan diri dengannya.” (QS. Al An-Biya’: 52)
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu disyari’atkan oleh agama. Nabi SAW senantiasa beri’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari terakhir, sedang menjelang beliau wafat (tahun terakhir bertemu Ramadhan) beliau beri’tikaf sampai dua puluh hari lamanya. Keterangan ini diriwayatkan oleh Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Majah.
Begitupun para sahabat dan para istri Rasulullah saw, mereka melakukan i’tikaf bersama nabi Muhammad SAW dan orang-orang sepeninggal beliau. Hanya saja, walaupun i’tikaf itu merupakan satu bentuk taqarrub atau pendekatan diri kepada Allah SWT, namun tidak ditemukan satu hadist pun yang menyatakan keutamaannya: “saya bertanya kepada Ahmad RA “Tahukah anda satu keterangan mengenai keutamaan (fadhilah) i’tikaf? “beliau menjawab: “Tidak, kecuali satu keterangan yang dha’if (lemah)
l’tikaf adalah hukumnya sunnah, kecuali yang bernazar untuk melakukan i’tikaf, maka ia adalah wajib, nabi saw bersabda:
“Barang siapa yang telah bernadzar untuk melakukan suatu amal ketaatan kepada Allah SWT, hendaklah di penuhi nadzarnya .” (HR. Bukhori)
Artinya: “Bahwa Umar RA. bertanya: Wahai Rasulullah, saya telah bernadzar akan beri’tikaf di masjidil haram satu malam.” Jawab Nabi: “Penuhilah nadzarmu itu.” (HR. Bukhori).
Adapun i’tikaf yang sunnah tidaklah dibatasi waktunya. la dapat berlangsung ketika seseorang tinggal di masjid dengan niat i’tikaf selama ia berada di masjid, hendaklah ia memperbaharui niat, bila bermaksud tetap melanjutkan i’tikafnya. “Atha” telah mengatakan: “Disebut i’tikaf selama seseorang tinggal di masjid. Jika seseorang duduk di masjid dengan mengharap pahala, maka dia dikatakan beri’tikaf.”
Orang beri’tikaf disyaratkan hendaknya ia mumayyis, suci dari janabah, haidh dan nifas (bagi perempuan). Dengan demikian anak kecil yang belum baligh, laki-laki dan wanita yang junub dan berhadast besar lainnya tidaklah sah beri’tikaf.
Sedangkan mengenai diwajibkannya dilaksanakan di masjid adalah berdasarkan firman Allah SWT “Dan janganlah kamu campuri istri-istrimu sementara kamu sekalian sedang beri’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah :187).
Kepada Azzuhry yang mengatakan bahwa: “Tidaklah sah i’tikaf kecuali dengan puasa, Umar bin Abdul Aziz bertanya. “Apakah keterangan itu berasal dari Nabi SAW?” Azzuhry menjawab, “Tidak” “dari Umar?” Dijawab “tidak” Ditanya lagi. “Utsman? “jawabnya lagi “Tidak”.
Sementara itu Malik, Syafi’i dan Daud berpendapat bahwa sah dilakukan di setiap masjid karena tidak ada yang menegaskan tertentu yang boleh digunakan sebagai tempat beri’tikaf. Sedang pengikut-pengikut Syafi’i berpendapat lebih utama dilakukan di masjid jami’ yakni masjid yang digunakan untuk shalat Jum’at.
Mengenai Hadist yang menyatakan bahwa jika beliau hendak beri’tikaf, beliau sholat shubuh, kemudian masuk ke tempatnya beri’tikaf maksudnya adalah bahwa Nabi SAW masuk ketempat yang sudah disediakan oleh beliau untuk beri’tikaf di masjid. Adapun mulai masuk masjid bagi orang yang beri’tikaf adalah pada permulaan malam.
Mengenai waktu keluar masjid bagi orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terahkir di bulan Ramadhan, menurut Syafi’i dan Hanafi ialah setelah matahari terbenam sedang menurut Maliki dan Ahmad, mereka boleh keluar setelah terbenam matahari tetapi disunnahkan tetap tinggal sampai waktu sholat ‘led.
Bagi orang yang beri’tikaf, hendaklah dia memperbanyak ibadah-ibadah dan amalan-amalan sunnah, seperti:
Hal-hal yang sunnah dilakukan bagi orang yang beri’tikaf
1. Menyisir, atau memotong kuku, membersihkan tubuh dari debu dan kotoran.
2. Memakai pakaian yang terbaik dan memakai wangi-wangian.
3. Keluar dari masjid hanya untuk keperluan yang mendesak
Ibnu Mundzir berkata : “para ulama telah sepakat, bahwa orang yang beri’tikaf itu boleh keluar dari tempatnya untuk keperluan buang air besar ataupun kecil. Pendeknya segala sesuatu yang tak dapat diletakkan serta tidak mungkin mengerjakannya di dalam masjid maka ia boleh keluar untuk keperluan tersebut. Dan diterima dari qatarah, bahwa orang yang beri’tikaf diberi keringanan untuk turut mengirinkan jenazah, menjenguk orang sakit dan ia tidak usah duduk, serta menyapa orang yang sakit.
4. Boleh makan minum dalam masjid, tidur dengan syarat tetap menjaga kebersihan
5. Melakukan aqad nikah
Beberapa hal yang dapat membatalkan itikaf adalah sebagi berikut:
Penutup
Itikaf adalah ibadah penting bagi umat Islam selama sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ini kesempatan bagi seseorang untuk melepaskan diri dari urusan duniawi dan fokus pada hubungan spiritual dengan Allah. Memahami syarat dan rukun itikaf sangat penting untuk melakukan tata cara yang benar. Dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW, umat Islam dapat menuai pahala besar dan ampunan dari ibadah itikaf ini dan meningkatkan hubungan mereka dengan Allah SWT.