Alamat Redaksi:
Ciwidey Pertengahan Kav. Kebun 9 No. 79,
Kelurahan Hajarsari, Kecamatan Bandung Utara
Kota Bandung
Jawa Barat
Ciwidey Pertengahan Kav. Kebun 9 No. 79,
Kelurahan Hajarsari, Kecamatan Bandung Utara
Kota Bandung
Jawa Barat
Problematika terdesaknya tari etnik semakin terasa sejak tahun 1980-an, yang dibarengi menguatnya inovatif atass nama “kreativitas”; ditandai munculnya “Tari Kreasi Baru”. Waktu itu mulai menjamurnya karya-karya Bagong Kussudiardjo dari Yogyakarta.
Karya-karya tari kreasi baru menempati ruang publik di kota-kota besar di Jawa; Surabaya, Jogja, Solo, Bandung, Jakarta. Kota-kota yang bergerak ke arah metrolopis, sungguhpun kota tersebut belum benar-benar mengadopsi sifat konsumtif, tetapi masih berproses mendaur ulang masyarakat priyayi menjadi etlite baru. Sementara itu di daerah pesisiran, seperti Probolinggo dan Pasuruan serta kota lain masih menikmati dinamaka kehidupan tradisional sebagai masyarakat nelayan atau pedagang.
Di tahun 70-an hingga pertengahan 1980-an di Jawa Timur mulai menggulirkan forum kompetitif penyajian tari daerah. Hasilnya sudah cukup membanggakan kita dengan bermunculannya karya-karya baru hasil kreativitas seniman etnik di berbagai pelosok Jawa Timur. Saat itu seniman akademik kurang lebih 10%, tetapi 20 tahun berukutnya seniman akademik meningkat hingga 80%. Peningkatan ini menunjukkan pergeseran signifikan dalam proses kreatif tari etnik pesisir.
Berdasarkan fenomena tersebut diperkirakan, 20 -30 tahun mendatang, semua pemikiran, sikap, dan tindakan kreatif seni tari etnik ditentukan oleh masyarakat seni akademik. Kondisi serupa ini tengah dialami oleh dunia seni rupa, sehingga karya etnik seni rupa menjadi sangat langka. Ada kecenderungan untuk tidak memasukkan seni tari etnik ini dalam lingkup karya seni murni, tetapi didesak ke arah seni terapan (kriya).
Bidang seni tari mulai tampak adanya pemilahan antara ekspresi tari kreatif yang bernuansa etnik sebagai materi kompetisi dalam karya tari daerah. Karya-karya tersebut merupakan embrio tari komersial yang akan mengisi ruang seni tari pertunjukan untuk industri pariwisata.
Ternyata pemikiran strategi menguatkan gema kreatif masyarakat seniman tari yang ditumbuhkan oleh lembaga pendidikan, artinya mereka yang belajar tari melalui sekolah masih belum mewacana. Hal ini dibutuhkan sebuah kesadaran bersama, bahwa pada masa yang akan datang pagelaran seni tari sudah tidak lagi dilakukan anak-anak nelayan yang menari saat bulan purnama, atau anak-anak lengger yang menari di malam hari bersama komunitasnya.
Di masa mendatang, akan tampil penari-penari yang memposisikan dirinya sebagai ”artis” atau bahkan “selebritis”. Tampil pada perpisahan sekolah, acara-acara seremonial kantor BUMN atau lembaga pemerintah, atau sebagai duta seni. “Panggung” baru ini membutuhkan sebuah ”kebijakan” dan ”kesadaran” para pengambil keputusan, bahwa institusi pendidikan harus benar-benar menjadi tempat penguatan tari etnik. Termasuk tari etnik yang berada di lingkungan masyarakat pesisir, sebab budaya pesisir sudah lama kehilangan identitas sebagai masyarakat penari dan masyarakat pelestari seni tari.